Warga adat Timor dan perwakilan Malaka-Timor Leste bertemu di Bonleu pada 28 Februari untuk mempererat solidaritas dalam melindungi Gunung Mutis dari ancaman eksploitasi
Sejumlah warga adat yang bertempat tinggal di sekitar kawasan Mutis menggelar pertemuan akbar antar beberapa suku yang mendiami wilayah Timor yaitu Kono, Oematan dan tokoh adat dari Tuanleu serta perwakilan dari kerajaan Malaka dan Timor Leste.
Beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Forum Sejarah dan Budaya Timor, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] NTT dan yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal [PIKUL] NTT turut hadir dalam pertemuan itu.
Berlangsung di Desa Bonleu pada 28 Februari, pertemuan itu dimulai sekitar pukul 19.50 Wita.
Desa Bonleu terletak di sebelah timur Kota Kupang, berjarak sekitar 140 bersepeda motor. Desa ini berada di Kecamatan Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan berbatasan langsung dengan Cagar Alam Gunung Mutis.
Pertemuan itu diawali dengan sambutan dari Aletha Baun, aktivis lingkungan yang kerap dikenal karena menentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur [NTT.]
Aletha berkata bahwa, “tujuan diadakannya pertemuan ini untuk mengeratkan persatuan antar warga adat untuk tetap kokoh berjuang mempertahankan Mutis sebagai ibu dari peradaban orang Timor.”
Perjuangan Warga Adat Mollo
“Perjuangan warga adat Mollo sudah dimulai sejak bulan Desember,” katanya sembari menceritakan awal mula gerakan yang dibangun oleh warga adat.
Mollo merupakan sebuah Kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang menjadi objek penambangan marmer. Ancaman terhadap alam di Mollo dimulai ketika pemerintah mengizinkan PT So’e Indah Marmer melakukan penambangan di daerah itu pada 1994.
Setahun setelah izin diberikan, PT Karya Asta Alam, perusahaan asal Thailand, mulai beroperasi di kawasan Mollo. Selain melakukan aktivitas penambangan, perusahaan ini membuka akses menuju gunung batu dengan menebangi hutan di sekitarnya. Akibatnya, wilayah yang sebelumnya subur dan dikelilingi hutan kasuari berubah menjadi kering-kerontang.
Kehilangan tutupan hutan menyebabkan berkurangnya sumber air bersih bagi masyarakat adat. Sebelum kehadiran perusahaan, air mudah diperoleh untuk kebutuhan sehari-hari dan ternak mereka. Selain itu, padang rumput yang dulu menjadi sumber pakan bagi sapi, kerbau, dan kuda—hewan ternak utama masyarakat Mollo—mulai menghilang. Kondisi ini semakin menyulitkan kehidupan warga yang selama ini bergantung pada sumber daya alam sekitar.
Pada akhir 2001, dua perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Mollo akhirnya angkat kaki setelah mendapat perlawanan dari masyarakat adat. Setelah berhasil mengusir para penambang, tiga suku adat setempat segera membangun lopo, rumah adat khas mereka, di sekitar bekas lokasi tambang.
Menurut Aletha, langkah ini dilakukan untuk memastikan tidak ada lagi aktivitas penambangan di kawasan tersebut.
Dari inisiatif ini, lahirlah Kampung Nausus, yang kini menjadi pemukiman tetap bagi warga. Terletak sekitar 60 kilometer dari Kota So’e, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, kampung ini kini dihuni oleh sekitar 20 keluarga, dengan sepuluh rumah dan satu balai pertemuan yang telah berdiri kokoh.
Setali tiga uang, alih-alih berharap tidak ada lagi eksploitasi alam Mutis oleh Pemerintah, Penetapan Taman Nasional turut menjadi persoalan lanjutan yang menerpa mereka.
Perjuangan itu, kata Aletha, “ditandai dengan adanya forum masyarakat adat yang mulai bergerak,” pasca Cagar Alam Mutis mengalami penurunan status menjadi Taman Nasional.
Ia berkata, klaim pemerintah provinsi NTT soal “adanya surga yang tersembunyi di bawah kaki Gunung Mutis” hanyalah alasan “untuk mengeruk potensi sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.”
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa ada indikasi “BBKSDA,” merujuk pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam, turut mengambil keuntungan dari adanya penetapan karcis bagi pengunjung bila mendatangi Taman Nasional Mutis.
Dari Nausus: ‘Mengorganisir Pergerakan, Menjemput Kemenangan’
Pagi itu, kabut masih menggantung di lereng-lereng perbukitan ketika tim dari WALHI NTT yang diwakili oleh Sahabat Alam (Shalam) NTT – sebuah komunitas yang bergerak di bidang konservasi, tiba di Nausus pada 28 Februari sekitar pukul 08.30 Wita
Udara dingin menggigit, seakan menjadi cerminan keteguhan hati mereka yang telah lama berjuang mempertahankan tanah leluhur. Cahaya matahari perlahan menyelinap di antara pepohonan, menerangi jalan setapak berbatu yang mengarah ke perkampungan.
Nausus, sebuah permukiman yang berdiri kokoh di dataran tinggi, bukan sekadar tempat tinggal.
Di sinilah warga adat berkumpul, berbagi cerita, menyusun strategi, dan merawat ingatan tentang perjuangan yang telah mereka jalani bertahun-tahun lamanya. Mereka bukan sekadar individu, melainkan bagian dari sebuah komunitas yang menyatu dengan tanah, hutan, dan gunung yang mengelilingi mereka.
Warga adat dari Fatumnasi, Fatumkoto, Lelobatan, dan Ajubaki telah lama menjalin ikatan kuat dalam organisasi Ataimamus—sebuah wadah yang lahir dari kesadaran akan pentingnya menjaga warisan leluhur.
Setiap langkah mereka di tanah ini adalah perlawanan terhadap ancaman yang datang dari luar, setiap percakapan yang mereka gelar di lopo-lopo adalah upaya menjaga martabat dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Setelah menunggu sekitar satu jam, warga adat mulai berdatangan ke Nausus. Sebagian tiba dengan sepeda motor, sementara lainnya menumpangi dua mobil pickup. Mereka turun, berbaur, dan mempersiapkan diri menuju tempat pertemuan sekitar pukul 10.50 Wita.
Namun, perjalanan rombongan warga adat menuju Bonleu terhambat. Tanjakan menuju desa itu dipenuhi bongkahan tanah dan batu akibat longsor dari tebing di sisi kanan jalan. Akibatnya, warga terpaksa turun dari kendaraan dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Setibanya di lokasi kegiatan pada pukul 16.09 Wita, rombongan warga diterima oleh Aletha Baun, koordinator acara, yang menjelaskan aturan pelaksanaan ritual serta susunan acara.
Pada pukul 18.10 Wita, utusan warga adat dari Timor Leste disambut dengan upacara adat Naitoni, sebuah tradisi suku Timor sebagai bentuk penghormatan kepada tamu penting. Kemudian, pada pukul 20.09 Wita, acara dilanjutkan dengan prosesi penjemputan usif dari suku Kono yang berasal dari desa Noetoko, Kecamatan Miomaffo Barat, TTU.
Usif adalah gelar adat yang diberikan kepada pemimpin atau kepala suku dalam masyarakat adat di Timor. Usif memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan sosial, budaya, dan hukum adat di komunitasnya. Mereka dihormati sebagai pemimpin yang menjaga nilai-nilai tradisi, menyelesaikan sengketa, serta menjadi penghubung antara masyarakat adat dan pemerintah.
‘Hari Masih Pagi, Perjuangan Kita Belum Berakhir’
Dalam kesempatan yang sama, Usif Lif dari suku Oematan berkata, “hari ini saya merasa bangga karena semua Usif hadir, termasuk dari Kono, Oematan, Malaka, dan Timor Leste.”
Menurutnya, pertemuan ini adalah “kesempatan bagi kita untuk saling mengenal lebih dekat.”
“Saya berdiri di sini dengan penuh keberanian karena saya tidak bisa menerima keadaan ini begitu saja. Hari masih pagi, perjuangan kita belum berakhir,” katanya.
Sementara itu, Maria Sana, perempuan adat dari Mollo pun menyuarakan kegelisahan mereka atas perubahan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional yang terjadi dalam waktu singkat.
Maria menyebut bahwa “papan informasi kawasan itu diganti hanya dalam tiga hari, tanpa sosialisasi yang jelas.”
Selain itu, pungutan yang dikenakan kepada pengunjung menimbulkan pertanyaan besar: ke mana dana tersebut mengalir?.
“Katanya masuk ke negara, tapi negara mana? Kami ini bagian dari NKRI!” katanya.
Ia menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam sembari menolak anggapan bahwa perempuan hanya berada di belakang, justru “harus berdiri di garda terdepan dalam mempertahankan Gunung Mutis, yang menjadi jantung kehidupan masyarakat Mollo.”
Mereka menolak eksploitasi dengan alasan pariwisata yang dikemas sebagai “surga tersembunyi”.
“Surga untuk siapa? Ini baik atau buruk bagi kami?” tanya mereka.
Maria juga menyerukan solidaritas untuk tidak membiarkan perjuangan ini hanya bertumpu pada segelintir orang.
“Kami tidak bisa sendiri, kita harus bekerja sama,” tegasnya.
Bagi masyarakat adat Mollo, Mutis bukan sekadar gunung, tetapi simbol kehidupan yang harus dijaga.
Penulis: P. Elkelvin Wuran (Sahabat Alam WALHI NTT)
Penanggung jawab rilis: Yuvensius Nonga (Kepala Divisi Advokasi WALHI NTT / 082228882044)
Kedatangan masyarakat dua desa tersebut bukan merupakan kedatangan pertama ke Kementerian ATR/ BPN. Warga berharap kunjungan kali ini membuat Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik agraria di desa mereka.
但俗話說“是藥三分毒”,另外從個人情感來說不管是ED患者自己還是其性伴侶,對長期依靠威而鋼支撐性生活肯定都是非常不滿意的,威而鋼, 因此只要了解避免了以上禁忌症,現有的臨床經驗來看,在醫生指導下長期服用威而鋼還是沒有問題的。
晚睡熬夜、睡眠過少會影響心臟健康、動脈血管健康,使心臟動泵出血液的力量變弱,血管動脈老化變窄,從而引起器質性勃起功能障礙(陽痿)。犀利士的副作用類似,所以亦會加重犀利士副作用症狀,請應謹慎使用。