“Tolak Taman Nasional Hutan Timau, Kembali ke Hutan Adat!” Aleta Kornelia Baun (Perempuan Adat Mollo)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan SK Kementrian Nomor 946 Tahun 2024 Tentang Perubahan Fungsi Dalam Fungsi Pokok Cagar Alam Mutis Timau Menjadi Taman Nasional dan Perubahan Fungsi Antar Fungsi Pokok Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau Menjadi Taman Nasional.
SK ini disahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Siti Nurbaya, pada Minggu, 8 September 2024 melalui teleconference bersama Tim BEF yang terdiri dari President dan CEO Bezos Earth Fund (BEF), Andrew Steer KCMG, PhD dan Senior Fellow BEF Lord Zac Goldsmith di G20 Mangrove Center Wantilan, Bali. Bersama dengan ini, Taman Nasional Mutis Timau dideklarasikan menjadi Taman Nasional ke-56 di Indonesia.
Terkait perubahan status Kawasan ini, menuai pro dan kontra di tengah masyarakat di Pulau Timor, terutama Masyarakat adat di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Kupang.
Doc. WALHI NTT
Tentang Mutis Timau
Gunung Mutis Timau, merupakan salah satu Gunung yang memiliki ketinggian 2.427 mdpl dan merupakan gunung tertinggi di Pulau Timor dan di Nusa Tenggara Timur. Kawasan Mutis Timau, memiliki luas 78.789 hektar, yang meliputi tiga wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Kupang seluas 52.199 hektar, Kabupaten Timor Tengah Selatan seluas 22,313 hektare serta Kabupaten Timor Tengah Utara seluas 4.277 hektare.
Hutan pegunungan ini didominasi oleh spesies endemik seperti ampupu (Eucalyptus urophylla), bonsai alam, serta tempat tinggal berbagai spesies burung, mamalia, dan rusa timor. Mutis juga menjadi penyangga utama tiga daerah aliran sungai (DAS) besar di Pulau Timor yakni; Noel Mina, Noel Benanain, dan Noel Fail.
Masyarakat Adat Mollo Menolak Perubahan Status Kawasan
Bagi Masyarakat adat, Mutis Timau merupakan jantung dan Paru-paru untuk Pulau Timor. Alfred Baun, salah satu tokoh Masyarakat di Mollo mengatakan, “Mutis adalah sandaran batin bagi kami orang Mollo. Kami masyarakat ini memiliki ikatan yang kuat dengan mutis. ”
Dalam pertemuan Konsolidasi Masyarakat Adat Lingkar Mutis ke-10 pada Jumat, 24 Januari 2025 di Nausus, Desa Fatukoto- Kecamatan Mollo Utara, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat merasa tidak dilibatkan di dalam perubahan status Kawasan dari Kawasan Cagar Alam menjadi Kawasan Taman Nasional.
“Kami semua tidak setuju dengan taman nasional, kami merasa bingung karena tiba-tiba ada Kementerian yang datang meresmikan dan pas di hari Minggu semua orang ada gereja. Dan kedua Masyarakat juga bingung, siapa yang tanda tangan untuk pelepasan supaya Mutis menjadi Taman Nasional?” Tegas Aleta Kornelia Baun (58 Tahun) saat membuka pertemuan konsolidasi.
Aleta Baun merupakan salah satu tokoh Perempuan di Mollo yang juga tegas menolak perubahan status Kawasan ini karena merasa informasi ini tidak pernah sampai pada Masyarakat di kampung-kampung.
Pertemuan Konsolidasi ini melibatkan Masyarakat Adat dari Kecamatan Mollo Utara, Kecamatan Nun Bena dan Kecamatan Tobu di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Bagi Masyarakat adat, bentuk penolakan yang dapat mereka lakukan atas perubahan status Kawasan Taman Nasional Mutis Timau ini adalah dengan memilih jalan ritual untuk mendapat restu leluhur.
Ritual Adat Fanu Kearifan Lokal Masyarakat Adat Timor Untuk Menjaga Alam
Dalam pertemuan konsolidasi itu, Masyarakat mengagendakan Ritual Adat Fanu yakni ikrar atau dalam bentuk doa sumpah kepada alam sesuai dengan sejarah peristiwa awal.
Ritual Adat Fanu ini dilaksanakan pada Selasa, 28 Januari 2025.
Pertemuan yang dimulai dengan pembahasan persiapan ritual ini dilangsungkan di Aula Pertemuan OAT di Nausus pada pukul 13.50 WITA. Sebagai undangan, WALHI NTT juga hadir membersamai Masyarakat untuk mengikuti ritual adat ini.
Dalam persiapannya, Masyarakat adat yang terkonsolidasi secara massif berdatangan dari setiap desa untuk memulai ritual. Dengan menggunakan pakaian adat lengkap dan dipimpin oleh Usif dan juga dihadiri oleh Para Meo, Amaf , Tokoh adat dan juga Tokoh Masyarakat.
Doc. WALHI NTT
Ritual adat ini dimulai dari titik pertama di Nausus, Desa Fatukoto. Ritual ini dimulai dengan tutur adat yang dipimpin oleh Usif Oematan, kemudian dilanjutkan dengan doa permohonan restu kepada Allah dan Semesta yang dipimpin oleh Atoin Amaf Ba’un dan kemudian dilanjutkan dengan tutur oleh Meo Banoet.
Setelah itu dilanjutkan dengan penyembelihan satu ekor kambing. Kambing merupakan lambang keberanian. Darah kambing yang terbunuh kemudian disiram dengan sopi sebagai bentuk persembahan kepada arwah, alam dan Allah.
Darah kambing juga dioleskan pada batang pohon beringin (Nunu) yang akan ditanam di Pintu Gerbang masuk Kawasan Hutan Adat Mutis
Doc. WALHI NTT
Titik ritual adat ke dua, di Nu Metan.
Nu Metan merupakan salah satu Lokasi ritual yang terletak di Desa Fatumnasi. Di titik ritual ini, dilakukan tutur adat oleh Amaf setempat dan para Meo kemudian diberikan persembahan satu ayam Jantan.
Ayam Jantan merupakan simbol kejantanan. Darah ayam yang dipotong kemudian disiram dengan sopi sebagai bentuk persembahan kepada arwah, alam dan juga Allah.
Doc. WALHI NTT
Titik ritual adat ke tiga, di Benpan.
Benpan juga merupakan salah satu Lokasi ritual yang juga terletak di Desa Fatumnasi. Titik ritual yang ketiga ini tepat di atas jembatan. Dalam ritual adat ini, tutur adat disampaikan oleh Amaf dan Para Meo setempat.
Di Titik ini diberikan persembahan satu ekor ayam Jantan. Darah ayam yang sudah dipotong ini kemudian ditumpahkan ke Sungai. Hal ini sebagai bentuk persembahan kepada arwah, alam dan juga Allah.
Doc. WALHI NTT
Titik ritual adat ke empat, di Bukit To Tiub.
Bukit To Tiub terdapat di dalam Kawasan hutan Mutis, di Desa Fatumnasi. Di Bukit ini, Usif, Amaf, Para Meo, Tokoh Adat dan seluruh Masyarakat yang hadir mengikuti ritual ini berdiri membentuk setengah lingkaran dan menghadap ke arah Gunung Mutis. Ritual ini dipimpin oleh Usif Oematan.
Dalam ritual ini, Usif menyampaikan Natoni (Tutur Adat) meminta restu arwah, alam dan Allah untuk menutup hutan adat mutis secara adat atau dalam Bahasa Mollo disebut Nasaeba Banu, yang artinya hutan Mutis tidak boleh diakses secara terbuka, atau dikunjungi oleh siapapun. Dalam ritual ini tandai dengan penyembelihan satu ekor babi merah dan satu botol sopi yang ditumpahkan di atas darah babi.
Doc. WALHI NTT
Titik ritual adat terakhir, di pintu masuk Mutis.
Ritual adat yang terakhir ini dibuat di depan pintu masuk Kawasan Mutis. Hal ini dilakukan dengan penanaman empat pohon beringin (Nunu), dua di sebelah kiri dan duanya lagi di sebelah kanan. Semua batang pohon beringin ini sudah dibasah dengan darah kambing yang dipersembahkan di titik awal ritual. Kemudian dilanjutkan dengan tutur adat oleh Para Amaf.
Dititik ritual ini, juga dilakukan pemotongan dua ekor ayam dan darahnya ditumpahkan ke atas pohon beringin (Nunu). Bagi Masyarakat setempat, pohon beringin merupakan tanaman yang telah disakralkan oleh nenek moyang.
Ritual ini ditutup dengan pernyataan sikap secara bersama oleh Masyarakat adat, “Kami tolak Taman Nasional Mutis Timau, Kembali ke Hutan Adat!”
Konsekuensi Pelanggaran atas Ritual Adat “Fanu”
“Ritual adat Fanu dipercayakan oleh kami sebagai doa kepada Allah, Alam dan Arwah. Dan kita menyampaikan hal apa yang kita perlukan. Fanu juga merupakan ungkapan sumpah kepada Allah, Alam dan Arwah. Bisa berupa ungkapan atau pernyataan larangan.” Hal ini diucapkan Nofren Kase selaku Ketua Komisi IV yang membidangi Ulayat, Alam dan Lingkungan mewakili ketua umum Forum Sejarah dan Budaya Timor (FSBT) di dampingi sejumlah tokoh adat Mollo.
Ritual adat kali ini dilakukan oleh Masyarakat adat sebagai alat untuk melawan kebijakan pemerintah yang mengancam keberlanjutan hutan adat Mutis melalui perubahan status Kawasan dari Cagar Alam ke Taman Nasional.
“Fanu merupakan kearifan lokal Masyarakat adat Timor yang dilakukan secara turun temurun dengan melakukan sumpah adat, dan siapa yang melanggarnya harus siap menanggung akibatnya. Siapa yang datang dengan niat yang jelek, berarti dia sebagai persembahan.” Sambungnya.
Sebagai informasi, setelah ritual ini Hutan Adat Mutis Timau resmi ditutup secara adat.
Salah satu Feotnai Usif dari Netpala, Petrus Almet yang juga hadir dalam ritual ini menegaskan, “Ritual Fanu ini jika dilanggar, tidak ada obat di puskesmas dan di rumah sakit manapun!”
Tuntutan Masyarakat Adat
Pertama, Kembalikan Hutan Adat Mutis!
Tuntutan ini menegaskan bahwa Hutan Mutis merupakan hutan adat yang memiliki nilai spiritual dan budaya yang sangat dalam bagi masyarakat adat Timor. Mutis dianggap sebagai tempat yang sakral, di mana arwah leluhur dipercaya bersemayam. Keberadaan hutan ini sangat terkait dengan keyakinan dan tradisi masyarakat adat, yang menganggapnya bukan sekadar ekosistem alami, tetapi juga bagian dari warisan spiritual mereka.
Kedua, Tolak Taman Nasional Mutis Timau!
Tuntutan ini mengacu pada rencana pemerintah untuk menetapkan area Mutis Timau sebagai taman nasional. Penetapan Taman Nasional justru berpotensi menambah ancaman bagi hutan adat Mutis. Lihat di (https://kupang.tribunnews.com/2024/09/28/perubahan-status-taman-nasional-mutis-timau-walhi-ntt-belajar-dari-tn-komodo)
Ditulis oleh : Divisi Advokasi WALHI NTT (082228882044)
Sumber Tulisan :
Kedatangan masyarakat dua desa tersebut bukan merupakan kedatangan pertama ke Kementerian ATR/ BPN. Warga berharap kunjungan kali ini membuat Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik agraria di desa mereka.
但俗話說“是藥三分毒”,另外從個人情感來說不管是ED患者自己還是其性伴侶,對長期依靠威而鋼支撐性生活肯定都是非常不滿意的,威而鋼, 因此只要了解避免了以上禁忌症,現有的臨床經驗來看,在醫生指導下長期服用威而鋼還是沒有問題的。
晚睡熬夜、睡眠過少會影響心臟健康、動脈血管健康,使心臟動泵出血液的力量變弱,血管動脈老化變窄,從而引起器質性勃起功能障礙(陽痿)。犀利士的副作用類似,所以亦會加重犀利士副作用症狀,請應謹慎使用。