Umbu Tamu Ridi Djawamara.,SH.,MH.
Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ED NTT
Email: umbutamuridi29@gmail.com
Abstrak
Penanganan perubahan iklim telah dimulai sejak pada tahun 1990 dalam pelaksanaan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang rentan akibat perubahan iklim tentunya harus memilih langkah antisipasi, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim, baik secara nasional maupun di daerah untuk menyiapkan skema mitigasi berupa kebijakan dan peraturan daerah.
Nusa Tenggara Timur sebagai bagian dari daerah kepulauan sangat rentan terhadap perubahan iklim, sehingga tidak heran gagal panen selalu terjadi dan akhirnya terjadi ketergantungan pangan pada skema inpor, oleh sebab itu, fungsi hukum dan kebijakan pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur sangat dibutuhkan dalam memitigasi dampak dari perubahan iklim, sekaligus menyiapkan kebijakan dan hukum adaptasi perubahan iklim untuk masyarakat terkena dampak ekstrem perubahan iklim.
Kata Kunci: Fungsi Hukum,Mitigasi, Adaptasi, Perubahan iklim.
Abstract
Climate change handling has been initiated since 1990 in the implementation of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) by the United Nations General Assembly, Nations (PBB).
Indonesian society as part of the world community that is vulnerable due to climate change would have to choose the anticipation, mitigation, and adaptation to climate change, both nationally and in the regions to prepare mitigation scheme in the form of policies and local regulations.
East Nusa Tenggara as part of the archipelago area is very vulnerable to climate change, so it is not surprising that harvest failures are always happening and food dependence on import schemeoccurs, therefore, the function of law and policy of East Nusa Tenggara government is urgently needed to mitigate the impact of the climate change, as well as preparing climate change adaptation policies and laws for communities affected by extreme climate change.
Keywords: Legal Function,Climate change, mitigation, adaptation
PENDAHULUAN
Perubahan iklimmerupakan fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Fenomena perubahan iklim diawali dengan menumpuknya berbagai gas yang dihasilkan dari kegiatan tersebut pada atmosfer.Di antara gas-gas tersebut adalah karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrous oksida (N20). Gas-gas tersebut memiliki sifat kekhususan seperti kaca yang bersifat meneruskan radiasi gelombang-pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang-panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga suhu atmosfer bumi meningkat[1].
Berdasarkan hasil laporan tahunan rutin yang disampaikan pada forum Inter Govermental Panel On Climate Change (IPCC) pada 6 april 2007: Impac, Adaptation and Vulnerability, dituangkan beberapa proyeksi ilmiah dampak dari perubahan iklim yang akan terjadi secara masif di beberapa negara secara berbeda, antara lain di benua Afrika, antara 75 dan 250 juta orang yang diproyeksikan akan menghadapi peningkatan stres akibat perubahan iklim pada tahun 2020. Produksi pertanian, termasuk akses ke makanan, diproyeksikan akan membahayakan dan hal ini berdampak buruk mata pada pencaharian, keamanan pangan dan memperparah gizi buruk di seluruh benua Afrika.[2]
Indonesia merupakan salah satu dari 180 negara yang meratifikasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) melalui Undang-undang nomor 6 tahun 1994, UNFCCC merupakan kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, sampai pada tingkatan tertentu sehingga tidak membahayakan sistim iklim bumi.[3] Namun persoalan perubahan iklim makin hari makin dirasakan oleh setiap masyarakat, karena bencana akibat perubahan iklim telah berdampak pada setiap sektor-sektor produksi masyarakat, terutama masyarakat petani, pekebun dan nelayan kecil.
Fenomena yang menjadi perhatian penting ialah berbagai bencana yang terkait dengan perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur mengharuskan terbentuknyaHukum dan kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklimagar dapat mengurangi dan mendukung ketahanan (Resilense) terhadap masyarakat. Persoalan dan prakiraan dampak perubahan iklim tersebut tidak dapat dikurangi tanpa adanya dukungan pada programmitigasi dan adaptasi masyarakat, oleh karena itu hukum dan kebijakan daerah merupakan sebuah langkah positif yang ditempuh demi mendukung langkah-langkah keamanan dan kesejahteraan masyarakat, baik kebijakan yang bersifat antisipatif maupun program pemberdayaan, salah satu persoalan penting yang membutuhkan hukum dan kebijakan daerah difungsikan secara maksimal adalah langkah Antisipasi, Mitigasi, dan Adaptasi Bencana,sebab bencana alam yang disebabkan perubahan iklim akan berdampak lebih banyak pada manusia dan mata pencaharaiannya, sehingga akan lebih sulit untuk bangkit mengurangi kemiskinan, dengan itu pemerintah berkewajiban membentuk hukum dan kebijakan daerah sebagai langkah mitigasi perubahan iklim, sebab masyarakat memiliki hak menikmati lingkungan hidup yang sehat[4].
Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini ialah yang pertama, Apakah fungsi hukum telah diejawantahkan dalam rangka menghadapi perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur?Kedua, Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan pemerintah Nusa Tenggara Timur dalam menghadapi perubahan iklim dari segi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim?
Metode Penelitian
Guna memperoleh suatu hasil yang diharapkan penulis, maka metode yang digunakan ialah penelitian yuridis normatif, dari segi yuridis yang memandang hukum sebagai alat yang mengatur segala kepentingan masyarakat yangtertuang dalam undang-undang dan peraturan daerah ataupun kebijakan daerah.
PEMBAHASAN
Pengejawantahan Fungsi Hukum Dan Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim Di Nusa Tenggara Timur
Fungsi hukum merupakan unsur penting dan pokok dari suatu peraturan, dikatakan demikian karena fungsi hukum adalah sarana menyelesaikan konflik dan persoalan sosial kemasyarakatan dan mengatur pergaulan hidup masyarakat, selain itu sebagai alat rekayasa sosial (Social enginering).[5] Namun juga dibagi menjadi empat model fungsi hukum menurud Soerjono Dirdjo, yaitu, pertama, Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana perilaku di dalam masyarakat sehingga masing-masing sudah jelas apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat. Kedua, Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin dimungkinkan karena sifat hukum yang mengikat baik fisik maupun psikologis. Ketiga, Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Hukum merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Keempat, Fungsi kritis hukum yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawas dan aparatur pemerintah[6].
Di lain pihak, kebijakan daerah merupakan suatu norma yang berlaku general sebagai tindakan yang diambil pemerintah baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah untuk mencapai target dalam pengelolaan kepemerintahan.
Hubungan fungsi hukum dan kebijakan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam mendukung langkah mitigasi perubahan iklim, yaitu sebagai berikut:
Bertitik tolak dari pengertian adaptasi perubahan iklim serta tujuannya, adaptasi dapat dikatakan sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan (resiliensi) suatu sistem terhadap dampak perubahan iklim. Sehingga adaptasi perubahan iklim di Indonesia diarahkan sebagai:
Setelah memperhatikan sektor-sektor dan aspek pembangunan yang terkena dampak perubahan iklim dapat dikatakan bahwa untuk memastikan pencapaian sasaran pembangunan nasional dengan adanya dampak perubahan iklim diperlukan ketahanan di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu, mengingat bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim diperlukan pula ketahanan di wilayah khusus seperti pulau-pulau kecil, pesisir dan perkotaan. Untuk itu, dalam kaitan ini, Sasaran Strategis Rencana Aksi Nasional-Adaptasi Perubahan Iklim(RAN-API) diarahkan untuk: (i) membangun ketahanan ekonomi, (ii) membangun tatanan kehidupan (sosial) yang tangguh terhadap dampak perubahan iklim (ketahanan sistem kehidupan), (iii) menjaga keberlanjutan layanan jasa lingkungan ekosistem (ketahanan ekosistem) dan (iv) penguatan ketahanan wilayah khusus di perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk mendukung penguatan penguatan di berbagai bidang tersebut, dibutuhkan sistem pendukung penguatan ketahanan nasional menuju sistem pembangunan yang berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim melalui Direktorat Adaptasi perubahan iklim mengembangkan Sistem Informasi Indeks dan data kerentanan perubahan iklim yang menyajikan data dan informasi kerentanan perubahan iklim dengan satuan unit desa di seluruh Indonesia. Saat ini Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) memanfaatkan data sosial ekonomi, demografi, geografi, dan lingkungan infrastruktur dari Potensi Desa (PODES). Tujuannya yaitu, untuk menyabjikan informasi kerentanan perubahan iklim untuk mendukung kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam upaya perencanaan adaptasi serta pengurangan resiko dan dampak perubahan iklim.
Berdasarkan hasil perhitungan data Sistem Data Indeks Kerentanan (SIDIK), maka diperoleh bahwa dari total desa di Indonesia yaitu 77.961 terdapat desa yang masuk kategori Sangat Rentan sejumlah 2.507 (3%), dan kategori Rentan sejumlah 2.433 (3%). Desa yang masuk kategori cukup rentan sejumlah 31.875 (41%). Sedangkan desa yang masuk kategori agak rentan sejumlah32.999 (42%) dantidak rentansejumlah8.146(8%).
Berdasarkan data di atas maka secara spesifik kajian memfokuskan terkait fungsi hukum dan kebijakan daerah dalam antisipasi mitigasi dan adaptasi bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebab pertama Nusa Tenggara Timur adalah daerah yang tergolong rawan bencana dan desa rentan, Apa bila dilihat Luas wilayah seluas 47.349,9 km² dengan jumlah penduduk sampai pada tahun 2010sebanyak 4.683.827jiwa, maka sangat diperlukan langkah hukum dan kebijakan daerah dalam antisipasi mitigasi bencana, sebab peningkatan jumlah penduduk akan semakin besar jumlahnya.
Kedua, Nusa Tenggara Timur adalah provinsi kepulauan, memiliki pulau-pulau kecil, baik yang sudah berpenghuni maupun yang belum, namun wilayah Nusa Tenggara Timur perairan jauh lebih luas dari daratan, sehingga faktor bencana akibat perubahan iklim akan berpengaruh terhadap pulau lecil, dan juga sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang hidup di wilayah pesisir Nusa, baik berpengaruh dalam aktifitas tangkap nelayan, maupun berpengaruh terhadap keselamatan nelayan.
Berdasarkan perhitungan kerentanan dengan menggunakan Sistem Informasi DataIndeks Kerentanan (SIDIK) oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka pada ProvinsiNusa Tenggara Timurtermasukkategoridaerahyangrelatif rentan.
Pelaksanaan Hukum Dan Kebijakan Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim Di Nusa Tenggara Timur
Sesuai agenda nasional dan daerah terkait perubahan iklim, ada dua implementasi agenda kebijakan yang menjadi perhatian utama dalam menghadapi perubahan iklim oleh pemerintah, di antaranya adalah:
Sebagai turunan komitmen Indonesia dalam usaha global menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem-sistem sosial ekonomi global akibat perubahan iklim, pengelolaan kinerja ekonomi dan kualitas hidup rakyat sekarang harus mengacu juga pada sasaran-sasaran reduksi emisi gas rumah kaca dan intensitas energi.Sasaran-saran mitigasi tersebut akan sangat sulit sekali dicapai selama unsur-unsur penekan yang menjadi kendala pencapaian keselamatan manusia dan keamanan sosial, produktivitas sosial untuk memenuhi syarat kualitas hidup, serta pemeliharaan keberlanjutan layanan alam tidak serta merta juga direduksi. Perluasan deforestasi dan degradasi lahan khususnya dalam dasawarsa terakhir adalah salah satu pelajaran mahal dari kegagalan pengelolaan ekonomi yang hanya mengacu pada pencapaian ketiga prinsip dasar tersebut di atas.[7]
Di tingkat kehidupan sosial, sasaran mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim akan bersinggungan dengan cara berpikir (punlick mind-set) sampai dengan pola hidup (life-style patterns). Rekayasa sosial dalam kesiapan masyarakat menuju cara berpikir dan pola hidup yang sesuai dengan dampak perubahan iklim perlu dikembangkan secara sistematis dan terencana. Dengan demikian, sasaran-sasaran mitigasi sektor-sektor ekonomi prioritas, yaitu sektor energi, industri (termasuk UKM), kehutanan, pertanian, perikanan infrastruktur, harus dirumuskan strategi pencapaiannya.
2. Agenda adaptasi
Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dan daerah dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim. Apa bila langkah-langkah penanganan yang konkret tidak segera dilaksanakan, maka target-target pembanguan (Mellinnium development goals) untuk bidang-bidang yang berkaitan dengan kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan akan sulit dicapai. Bahkan, ada kemungkinan, target-target pembangunan yang telah tercapai dapat terancam. Oleh karena itu, agenda adaptasi perubahan iklim harus diimplementasikan dengan kerangka pembangunan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Pembangunan yang hanya mementingkan aspek ekonomi semata tanpa memperhatikan kelestarian alam akan menambah kerentanan terhadap perubahan iklim. Pelaksanaan kegiatan adaptasi juga harus berjalan bersamaan dengan usaha pemberantasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan ekonomi karena masyarakat miskin merupakan golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.[8]
Kedua agenda tersebut di atas menjadi prioritas dalam mendukung suatu keadilan iklim bagi daerah dan masyarakat, Permasalahan seputar perubahan iklim telah menyentuhsuatu kondisi yang multidimensional dengan kompleksitas yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi dan keadilan, saat ini perhatian banyak dituangkan dalam dampak dari perubahan iklim pada sektor ekonomi dan ilmu pengetahuan, namun pembahasan dalam perspektif keadilan terhadap kondisi iklim jarang mendapat perhatian yang serius.[9]
Kebijakan perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur malalui beberapa skema pendekatan, namun hingga saat ini belum termuat dalam rencana prioritas pemerintah untuk membentuk sebuah kerangka hukum yang khusus mengatur langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, selain yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim sektor Ketahanan Pangan
Peran pemerintah yang memosisikan hukum sebagai faktor startegis yang menunjang dan mengendalikan sektor ekonomi menjadi langkah awal dalam membangun kesadaran akan arti pentingnya hukum sebagai alat untuk memfasilitasi kemajuan ekonomi[10]. Juga diperlukan peran pemerintah terutama dalam pengembangan dan percepatan adopsi teknologi usaha tani yang lebih produktif dan adaptif terhadap perubahan iklim, menyediakan infrastruktur pertanian yang efektifuntuk mendukung aplikasi teknologi tersebut, pengembangan jaringan informasi iklim pertanian.[11]
Di Indonesia penerimaan konsep ketahanan pangan dimulai dengan undang-undang Nomor 7 tahun 1996 dan kemudian diperbaharui dengan undang-undang Nomor 18 tahun 2012. Definisi dalam undang-undang ini “ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan”
Berkaitan dengan peningkatan diversifikasi Pangan merupakan salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2009-2014, dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Selain kebijakan tersebut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2013 tentang Program Peningkatan Diversifikasi Dan Ketahanan Pangan Masyarakat Badan Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2013 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan Dan Gizi juga mengatur tentang diversifikasi pangan dan peran pangan lokal untuk ketahanan pangan.
Peningkatan produksi pangan juga menjadi perhatian khusus untuk mencapai ketahanan pangan di Nusa Tenggara Timur, Sebab penurunan hasil panen menyebabkan penurunan pendapatan petani, penurunan pendapatan petani merupakan dampak jangka pendek, sedangkan dampak jangka panjangnya adalah berakhirnya profesi petani[12].Umumnya strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani berpengaruh positif terhadap produksi tanaman pangan, hal ini mengindikasikan bahwa strategi yang dilakukan petani sudah tepat dan bisa ditindaklanjuti guna mengurangi dampak perubahan iklim[13]. Permasalahan yang mendasar dalam mewujudkan target peningkatan produksi pangan strategis nasional adalah belum optimalnya koordinasi dan sinergitas antara lembaga yang membidangi pertanian di Pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 131 Tahun 2014 tentang Mekanisme dan Hubungan Kerja Antar Lembaga telah mengatur hal tentang peningkatan sinergisitas dan koordinasi antar lembaga pertanian.
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim sektor Perhutanan Sosial
Kegiatan di sektor kehutanan yang secara potensial dapat menekan terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu konservasi, peningkatan serapan karbon dan substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomas. Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan serapan dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan tanaman[14].
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropika terluas ketiga, sangat disayangkan Indonesia juga masuk kategori yang memiliki laju deforestasi yang tinggi, sehingga menjadi prioritas dunia untuk membantu mengelola hutannya. Hutan yang merupakan gudang karbon dan gudang jasa perlu dilestarikan, sebagai gudang jasa hutan di Indonesia memiliki potensi yang luar biasa karena tingginya keanekaragaman hayati.
Selain itu, pemasaran dasar pembangunan jasa lingkungan dari hutan juga tidak kalah perlunya perhatian sebagai alat promosi pembangunan berkelanjutan, diantaranya konservasi biodiversiti, karbon, perlindungan batas air (Watersbed protection) dan keparawisataan[15].
Berbagai produk hukum dan program pemerintah telah dilaksanakan dari tahun ke tahun, hingga yang terakhir munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU/2012 tentang pengakuan hutan masyarakat adat, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.83/MENLH/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial (Perhutani), kedua kebijakan hukum ini merupakan energi baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia dengan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas Masyarakat (Community Based Forest Management), skema ini diluncurkan era kabinet kerja Jokowi-JK untuk menjawab laju deforestasi dan perubahan iklim akibat deforestasi di Indonesia, sebab dengan skema hutan lindung sudah berjalan lama namun tingkat deforestasinya semakin besar, sehingga pemerintah berkomitmen untuk memberikan ruang kelola masyarakat untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber daya lewat skema perhutanan sosial yang di dalamnya tergolong, Hutan adat, Hutan Desa, Hutan Tanam Industri, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Kemitraan. Kebijakan tentang perhutanan sosial telah dilimpahkan ke setiap daerah provinsi di Indonesia untuk segera membentuk pokja perhutanan sosial dan menerapkan skema baru ini.
Nusa Tenggara Timur memiliki luas hutan 1.808.979,26 dengan tingkat deforestasi 15.163,65 Ha pada tahun 2011[16]. Perihal ini akan menjadi petaka apa bila pemerintah tidak konsisten memperlakukan skema perhutanan sosial di masyarakat lingkar hutan, sebab tingkat rasa memiliki masyarakat akan semakin tinggi dibandingkan dengan skema hutan lindung atau sejenisnya.
Faktor penghambat pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam mendukung langkah mitigasi perubahan iklim ialah, tidak adanya Peraturan Daerah (PERDA) atau regulasi sejenisnya di Nusa Tenggara Timur yang mengatur masyarakat hukum adat dan hutan adat ataupun bentuk hutan yang termuat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, sehingga bentuk mitigasi iklim sektor kehutanan akan semakin jauh dari harapan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, peneliti menyimpulkan, bahwa:
Saran
Merujuk pada kesimpulan tersebut di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
[1] Wahyu Yun Santoso “Kebijakan Nasional Indonesia dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim” Jurnal Hassanuddin Law Review, Vol.1 issue 3, Desember 2015, p.372
[2] Lihat Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) Report, climate hange 2007: Impacts, Adaptation And Vulnerability.
[3]Hibnu Nugroho “Paradigma penegakan hukum Indonesia dalam era global”,Jurnal Hukum Pro Justitia,Vol.26. No.4. Oktober 2008, p.320
[4]Mas Achmad Santosa dan Margaretha Quina, “Gerakan Pembaharuan Hukum Lingkungan Indonesia Dan Perwujudan Tata Kelola Lingkungan Yang Baik Dalam Negara Demokrasi”, Jurnal Hukum Lingkungan, Vol.1, Issue 1, Januari 2014. p.47.
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, (Bandung: Citra Aditya,2006), p.45
[6] Mustafa dan Luthfi Kurniawan, 2012, Perihal Negara, Hukum dan Kebijakan Publik. Setara Press. p.10
[7] Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi perubahan iklim Tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), p.30
[8]Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan(KLHK), p.31
[9]Deni Bram, “Perspektif Keadilan Iklim Dalam Instrumen Hukum Lingkungan Internasional Tentang Perubahan Iklim”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.11, No.2, Mei 2011. p.288.
[10] Adi sulistiono, “Pembaharuan hukum yang mendukung kondusifitas iklim usaha” Jurnal Yustisia, Vol.4 No.3 September-Desember 2015 p. 666.
[11]Elli Rasmikayati dan Endah Juwendah, “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Perilaku dan Pendapatan Petani” Jurnal Manusia Dan Lingkungan, Vol.22, No.3, November 2015. p.378.
[12] Ida Nurul Hidayati dan Suryanto, “Pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian dan strategi adaptasi pada lahan rawan kekeringan” Jurnal Ekonomi Pembangunan, April 2015, Vol.16, No.1. p.43.
[13] Ibid, p.43.
[14]Ari Wibowo. “Peran Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim”.Jurnal Tekno Hutan Tanaman. Vol.2 No.1. April 2009. p.21.
[15] Parlindungan Tambunan, Ari Wibowo dan Yunita Lisnawati “Kontrol Pembangunan dan Konservasi untuk menyelamatkan bumi” (Control Of Development and Conservation to Save the Earth, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan). Vol.5. No.2.Agustus 2008. p.81
[16]Kompasiana, Kerusakan Hutan di Nusa Tenggara Timur, Laporan Dishut Provinsi NTT, Tahun 2011
Kedatangan masyarakat dua desa tersebut bukan merupakan kedatangan pertama ke Kementerian ATR/ BPN. Warga berharap kunjungan kali ini membuat Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik agraria di desa mereka.
但俗話說“是藥三分毒”,另外從個人情感來說不管是ED患者自己還是其性伴侶,對長期依靠威而鋼支撐性生活肯定都是非常不滿意的,威而鋼, 因此只要了解避免了以上禁忌症,現有的臨床經驗來看,在醫生指導下長期服用威而鋼還是沒有問題的。
晚睡熬夜、睡眠過少會影響心臟健康、動脈血管健康,使心臟動泵出血液的力量變弱,血管動脈老化變窄,從而引起器質性勃起功能障礙(陽痿)。犀利士的副作用類似,所以亦會加重犀利士副作用症狀,請應謹慎使用。