Kupang, 4 September 2025 – Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menetapkan Flores bukan sebagai pulau panas bumi menuai polemik. Sebagian kalangan menilai langkah tersebut diambil tanpa melibatkan partisipasi publik secara memadai, sementara pemerintah menegaskan bahwa keputusan ini sah dan sesuai aturan. Perdebatan pun mengemuka: apakah kebijakan ini mencerminkan semangat demokrasi, atau justru cenderung bersifat sepihak?

Isu panas bumi di Flores kembali menjadi sorotan ketika Universitas Nusa Cendana (Undana) menggelar diskusi publik bertajuk “Pengembangan Geothermal di Pulau Flores” pada Kamis (4/9/2025). Acara yang menjadi bagian dari perayaan Dies Natalis ke-63 Undana ini menghadirkan pejabat pemerintah, akademisi, LSM, hingga pegiat masyarakat sipil untuk membedah masa depan energi terbarukan di NTT.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Sains dan Teknik Undana, Prof. Philiphi de Rozari, menegaskan bahwa pengembangan geothermal tidak bisa hanya dipandang dari sisi teknologi atau investasi. “Ada dimensi sosial, budaya, lingkungan, dan tata kelola yang tak kalah penting,” ujarnya.

Senada dengan itu, Rektor Undana Prof. Max U. Sanam menyebut energi panas bumi di NTT adalah harapan sekaligus tantangan. Potensi energi terbarukan yang besar bisa menjawab kebutuhan nasional, namun masyarakat masih menyimpan kekhawatiran atas dampak lingkungan dan tata kelola kebijakan.

Dari sisi pemerintah, Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, Gigih Udi Atmo, menyebut NTT memiliki cadangan energi lebih dari 1,1 gigawatt, cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik di Flores dan sekitarnya. Ia menekankan bahwa aspek keamanan menjadi prioritas utama, dengan pengawasan ketat di PLTP Sokoria, Ulumbu, dan Mataloko.

Namun, kritik paling keras datang dari akademisi Ledalero, Dr. Felix Baghi, SVD, yang menilai penetapan Flores bukan pulau panas bumi adalah keputusan sepihak. Menurutnya, langkah Menteri ESDM itu tidak mencerminkan semangat demokrasi dan justru mengabaikan aspirasi masyarakat Flores.

“Flores bukan pulau panas bumi oleh keputusan Menteri ESDM. Itu kemauan sepihak pemerintah. Kita ini negara demokrasi, tapi keputusan itu sama sekali tidak mendengarkan kehendak umum masyarakat Flores,” tegas Felix.

Ia juga menyoroti minimnya keterbukaan informasi, khususnya terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Menurutnya, proses yang tertutup hanya menambah ketidakpercayaan publik.

“Nalar privat dari sebuah proyek harus dibuka ke publik. Kampus harus membudayakan nalar publik yang terbuka, bukan nalar privat yang eksklusif,” ujarnya.

Felix menambahkan, dalam konteks transisi energi, masyarakat sering terjebak dalam narasi elit politik dan pebisnis, sementara suara rakyat justru tersisih. “Geothermal memang proyek strategis nasional, tapi jangan sampai berubah menjadi proyek korporasi yang menyingkirkan kepentingan mayoritas,” tandasnya.

Pandangan kritis juga disampaikan oleh Valens Dulmin, Koordinator Bidang Advokasi JPIC OFM. Ia menilai penolakan masyarakat adat terhadap proyek panas bumi berakar pada nilai budaya dan spiritual yang mendalam. “Penolakan bukan hanya soal ekonomi teknis, tetapi juga menyangkut keberlanjutan hidup komunitas adat,” katanya.

Menurut Valens, masyarakat memiliki hak menyatakan tidak setuju terhadap proyek geothermal, termasuk hak atas lingkungan yang sehat, tanah, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.

Ahli Geologi dan Geothermal UGM, Ir. Pri Utami, mengingatkan bahwa pengembangan energi panas bumi harus berwawasan lingkungan dan mengutamakan keselamatan manusia.
Sementara itu, dosen ITB Ali Ashat menekankan pentingnya monitoring rutin dan inovasi teknologi untuk meminimalkan dampak negatif.

Sebagai panelis, Dosen Fisip Undana Dr. Rudi Rohi menyoroti fenomena “kutukan sumber daya alam”. Menurutnya, negara yang kaya sumber daya sering kali justru diliputi kemiskinan dan konflik karena masyarakat tidak bisa mengontrol pengelolaannya.

Diskusi publik di Undana memperlihatkan bahwa isu panas bumi di Flores bukan sekadar soal energi, tetapi juga menyangkut demokrasi, keadilan sosial, dan masa depan lingkungan. Perdebatan ini masih jauh dari selesai. Namun, satu hal yang pasti: pembangunan energi terbarukan hanya akan berhasil jika suara masyarakat benar-benar menjadi bagian dari keputusan, bukan sekadar formalitas.