Nusa Tenggara Timur kini terkepung berbagai praktik pembangunan yang abai dan lalai pada keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Mulai dari proyek investasi pariwisata, proyek perkebunan monokultur, proyek pertambangan dan geothermal, proyek infrastruktur pemerintah, dan proyek pengelolaan sampah dan pencemaran lingkungan.
Berbagai proyek bersifat top down tidak menyisakan tempat bagi suara-suara warga yang potensial jadi korban pembangunan. Model top down merupakan model pemaksaan kehendak atas nama pembangunan. Termasuk model pemaksaan yang mengabaikan urusan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di NTT.
NTT yang merupakan provinsi kepulauan, makin kritis keselamatan rakyat dan lingkungan hidupnya, akibat model-model proyek pariwisata, perkebunan monokultur yang diprakarsai pemodal dan pemerintah, pertambangan hingga infrastruktur besar. NTT terkini seolah tampak tumbuh dalam hal pembangunan, namun mengorbankan ekologi, sosial ekonomi bagi keseluruhan masyarakat NTT. Terlebih bagi kelompok-kelompok rentan seperti nelayan, petani, masyarakat adat, kelompok disabilitas dan kaum perempuan.
Beberapa fakta pembangunan yang secara terang benderang menjelaskan bahwa urusan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dinyatakan persetan oleh pemerintah.
Proyek Investasi Pariwisata
Pertama, Kawasan Strategis Parwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo. Kebijakan ini berdampak pada peningkatan kerentanan wilayah dan masyarakat lokal. Seperti privatisasi pesisir oleh industry perhotelan, Ancaman relokasi warga Atamodo di tahun 2019, alih fungsi 400 hektar hutan produksi di Nggorang Bowosie. Pencurian Komodo masif terjadi sebagai bukti pengembangan pariwisata super premium berbading terbalik dengan mekanisme perlindungan yang super minimum. Selain itu pencurian Komodo juga bukti bahwa keadilan ekonomi tidak terjadi dalam Kawasan KSPN Labuan Bajo.
Proyek pariwisata skala besar dalam aspek ruang dan investasi ini juga dipaksakan masuk ke pulau-pulau kecil. Pulau Lembata menjadi salah satu pulau yang merasakan dampaknya. Proyek pariwisata di Awololong juga telah mengakibatkan konflik akibat pemaksaan pembangunan tersebut.
Kedua, investasi pariwisata PT Sutera Marosi Kharisma di pesisir Marosi Sumba Barat yang mengakibatkan petani bernama Poro Dukka yang berusaha untuk mempertahan lahan kelolanya ditembak mati oleh oknum aparat. Sampai saat ini, kasus ini tidak tuntas dilakukan oleh negara, dalam konteks penegakan hukum dan keadilan ruang penghidupan.
Investasi pariwisata di Sumba Tengah juga telah mengakibatkan nelayan Bernama Sony Hawolung dikriminalisasikan oleh oknum pemilik resort di Pantai Aily. Lantaran nelayan dianggap menyerobot lahan milik resort.
Proyek Perkebunan Monokultur yang diprakarsai Pemodal dan Pemerintah
Pertama, proyek perkebunan tebu dan pabrik gula PT MSM telah mengakibatkan terampasnya hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya dan telah mengakibatkan ratusan petani kekurangan air. Proyek itu juga mengakibatkan hutan-hutan alam dibalak dengan serampangan. “Bahkan ada tiga orang masyarakat adat yang melawan pun dikriminalisasi dan dipenjarakan.”
Kedua, proyek food estate di Sumba Tengah yang mengabaikan petani kecil tak berlahan dan menjadikan ketergantungan asupan pertanian seperti bibit dan pupuk sintetik dari industri. Pemaksaan pembuatan ratusan sumur bor di sekitar kawasan food estate atas nama ketiadaan irigasi potensial akan menimbulkan bencana dalam jangka panjang.
“Ketiga pengusiran masyarakat adat Pubabu yang berupaya untuk melindungi dan melestarikan Hutan Kio (larangan) mereka dari ekpansi proyek perkebunan kelor yang dicanangkan pemerintah Propinsi NTT. Proyek Ini telah mengakibatkan belasan KK kehilangan ruang hidup dan tempat tinggal.” Sebagian Hutan Pubabu kemudian dijadikan Hutan Energi.
Proyek Pertambangan dan Geothermal
Janji Gubernur dan Wakil Gubernur NTT untuk menghentikan industri tambang di NTT diingkari. Yang terjadi justru hadir pertambangan dan pabrik semen di Manggarai Timur. PT Istindo Mitra Manggarai diberikan konsesi dengan cara membujuk dan merelokasi masyarakat adat di Lingko Lolok. Investasi ini juga akan menghancurkan kebun-kebun rakyat dan sumber-sumber air masyarakat.
“Hak tolak masyarakat diabaikan begitu saja. Ditambah lagi dengan izin baru perusahan tambang mangan PT Satwa Lestari Permai yang akan bercokol di Kabupaten Kupang. Izin-izin perusahaan mangan ke depannya akan terus bertambah, mengingat pembangunan smelter mangan oleh perusahan Australia, PT Gulf Mangan Grup di Bolok, tengah berlangsung.”
Sejak Flores ditetap sebagai Pulau Gheothermal pada 2017 lalu, ini menjadi dasar legitimasi perampasan lahan masyarakat adat di NTT. Salah satunya yakni rencana Proyek Geothermal di Pocoleok dan Wae Sanno di Manggarai Barat, Lembata, Radabata Kabupaten Ngada. Proyek ini dengan jelas ditolak oleh masyarakat setempat karena berpotensi merelokasi masyarakat dari kampungnya, berpotensi menghancurkan sumber penghidupan warga berupa air, hutan, dan kebun. Namun pemerintah bergeming dan memaksakan kehendak atas proyek tersebut.
Pemerintah mengabaikan hak-hak tolak warga yang sudah turun temurun hidup di kampung. Ini membuktikan bahwa urusan daya dukung dan daya tampung lingkungan diabaikan oleh pemerintah. Praktek investasi geothermal di Mataloko, Ulumbu yang bermasalah tidak dijadikan bahan evaluasi atau refleksi oleh pemerintah.
Proyek Infrastruktur Pemerintah
Kemudian, NTT saat ini juga dijejali dengan proyek infrastruktur bendungan yang diprakarsai oleh pemerintah pusat. Salah satunya yakni proyek pembangunan bendungan Lambo di Nagekeo, yang dipaksakan dari rezim ke rezim pemerintahan. Padahal proyek ini terus mendapat penolakan dari warga, yang dibalas dengan praktik-praktik intimidasi oleh pemerintah dengan menggunakan aparat keamanan. Proyek yang diproyeksikan dengan cara merelokasi kampung masyarakat adat ini hingga kini terus dipaksakan oleh pemerintah.
Pengelolaan Sampah
Industrialisasi di NTT makin memperburuk lingkungan hidup dan mengancam keselamatan ruang penghidupan rakyat. Sampai saat ini seluruh kabupaten kota di NTT mendapat rapor merah pengelolaan sampah. Dalam catatan WALHI NTT belum ada satupun kebijakan pemerintah yang sesuai dengan mandat undang-undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Buktinya hingga saat ini model pengolahan sampah di TPA belum dilakukan.
Terminologi pemerintah masih soal membuang sampah ke TPA. Ditambah lagi tata Kelola yang buruk menjadikan ruang ruang penghidupan rakyat dijejali dengan sampah baik di daratan, sungai hingga lautan. Ini akan mengancam sumber sumber ekonomi rakyat yang sangat bergantung pada daya dukung lingkungan hidup.”
Penurunan Status Kawasan Suaka Alam Ke Kawasan Pelestarian Alam
Penurunan Status Cagar Alam yang merupakan bagian dari Kawasan Suaka Alam menjadi dasar legitimasi pemerintah untuk mempercepat proses pengrusakan lingkungan di NTT. Pada 8 September 2024 yang lalu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mendeklarasikan Kawasan Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional Mutis Tima. Kawasan Mutis Timau dengan luas 78.789 hektare yang sebelumnya berstatus cagar alam kini resmi menjadi Taman Nasional Gunung Mutis Timau, mencakup wilayah tiga kabupaten di Nusa Tenggara Timur yaitu Kabupaten yakni Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS)dan Timor Tengah Utara (TTU).
Kawasan Mutis Timau dalam lingkaran ancaman besar yang akan menghantam keberlanjutan Mutis Timau. Mutis Timau merupakan jantung pertahanan ekologis orang Timor yang memiliki peran ekologis yang cukup besar hampir di seluruh kawasan Timor. Saat ini berada dalam satu skema ancaman kebijakan pemerintah pusat yang sama sekali abai akan keselamatan lingkungan dan keselamatan rakyat.
Selain itu penetapan ini terkesan dilaksanakan tanpa konsultasi publik dengan masyarakat adat di sekitar kawasan Mutis Timau yang memiliki ikatan cultural dengan wilayah ini. Minimnya konsultasi publik bukti bahwa KLHK telah melakukan pengabaian terhadap Hak masyarakat adat sekitar kawasan Mutis Timau. Penetapan ini secara substansi telah menurunkan fungsi perlindungan Kawasan Mutis Timau.
Penurunan Status Cagar Alam menjadi Taman Nasional secara bersamaan melemahkan prinsip perlindungan kawasan Mutis Timau. Hal ini tentu disadari oleh KLHK sebagai lembaga pemerintah pusat yang memiliki rekam jejak dalam upaya penurunan status dan utak atik zonasi dalam kawasan taman nasional salah satunya di taman nasional komodo.
Skema perlindungan dalam kawasan Taman Nasional lebih terbatas apabila dibandingkan dengan Cagar Alam. Cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Sementara, Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Belajar dari Taman Nasional Komodo,Penurunan status kawasan Suaka Alam ke kawasan pelestarian alam bukan baru kali ini terjadi. Taman Nasional Komodo sebelumnya juga merupakan Kawasan Suaka Margasatwa yang merupakan bagian dari kawasan Suaka Alam yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Sejarah penetapan kawasan ini dimulai Pada tahun 1938 Penetapan Suaka Margasatwa Pulau Rinca dan Suaka Margasatwa Pulau Padar. Tahun 1965 Penetapan Suaka Margasatwa Pulau Komodo. Tahun 1977 Penunjukan sebagai ‘Cagar Biosfer Komodo’ dalam program Man and Biosphere Reserve oleh The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Kemudian pada tahun 1980 Penunjukan sebagai Taman Nasional Komodo.
Pasca penetapan Taman Nasional Komodo merupakan awal dari catatan sejarah dimana peranan KLHK dalam mengutak atik sistem zonasi dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Pulau Padar dan Tatawa menggambarkan perubahan zonasi yang signifikan sebelum dan setelah 2012. Di Pulau Padar, sebelum tahun 2012 hanya terdapat zona inti dan zona rimba, namun KLHK mengeluarkan SK No. SK.21/IV-SET/2012 mengkonversi 303,9 hektar menjadi zona pemanfaatan wisata darat. Zona ini terbagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik. Kemudian pada September 2014, KLHK memberikan izin kepada PT KWE untuk mengelola 274,13 hektar dari ruang usaha yang ada. Serupa, di Pulau Tatawa, zonasi juga diubah oleh KLHK untuk mendukung investasi PT Synergindo Niagatama (PT SN). Pada tahun 2012, 20,944 hektar lahan di Pulau Tatawa dikonversi menjadi zona pemanfaatan wisata darat, dengan 14,454 hektar untuk ruang publik dan 6,490 hektar untuk ruang usaha. Pada tahun 2014, PT SN memperoleh konsesi untuk membangun bisnis pariwisata di seluruh ruang usaha yang tersedia.
Penulis: Yuvensius Nonga (Deputi WALHI NTT)
Kedatangan masyarakat dua desa tersebut bukan merupakan kedatangan pertama ke Kementerian ATR/ BPN. Warga berharap kunjungan kali ini membuat Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik agraria di desa mereka.
但俗話說“是藥三分毒”,另外從個人情感來說不管是ED患者自己還是其性伴侶,對長期依靠威而鋼支撐性生活肯定都是非常不滿意的,威而鋼, 因此只要了解避免了以上禁忌症,現有的臨床經驗來看,在醫生指導下長期服用威而鋼還是沒有問題的。
晚睡熬夜、睡眠過少會影響心臟健康、動脈血管健康,使心臟動泵出血液的力量變弱,血管動脈老化變窄,從而引起器質性勃起功能障礙(陽痿)。犀利士的副作用類似,所以亦會加重犀利士副作用症狀,請應謹慎使用。