Kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh pengusaha Liang Bun harus segera di tindak secara hukum oleh aparat penegak hukum.
Sumba Barat, 17 Oktober 2025 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) menegaskan bahwa praktik reklamasi ilegal yang terjadi di muara Sungai Rua, Desa Rua, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat, merupakan tindak pidana lingkungan hidup yang serius dan harus segera ditindak secara hukum oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan hasil investigasi lapangan dengan bukti-bukti yang dikumpulkan, WALHI NTT menduga kuat bahwa kegiatan reklamasi atau penimbunan muara sungai yang dilakukan oleh pengusaha Liang Bun Tjien alias Aciu, telah melanggar sejumlah ketentuan hukum, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yulianto Behar Nggali Mara, S.H., M.H, Divisi Advokasi dan Pendamping Hukum WALHI NTT, menyampaikan bahwa tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap administratif melainkan pelanggaran terhadap unsur tindak pidana lingkungan hidup.
“Selain pelanggaran terhadap administratif, kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh pengusaha Liang Bun Tjien alias Aciu merupakan tindak pidana kejatahan dan pengrusakan terhadap lingkungan hidup,” ujar Yulianto Behar dalam siaran pers pada (Jumat), 17/10/25.
Lebih lanjut, Yulianto Behar menjelaskan ada empat pasal yang melanggar sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Pertama, Pasal 98 ayat (1) dan (3) UU No. 32 Tahun 2009, tentang perusakan lingkungan hidup secara sengaja. Yang kedua, pelanggaran pada Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009, tentang kegiatan tanpa izin lingkungan. Ketiga, Pasal 36 ayat (1), yang mewajibkan Amdal atau UKL-UPL untuk setiap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. Dan yang Ke-empat, adanya pelanggaran pada Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b, yang melarang pencemaran dan perusakan lingkungan serta perubahan aliran sungai tanpa izin.
Walhi NTT menilai bahwa kegiatan reklamasi ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan nyata, di antaranya, terganggunya aliran alami Sungai Rua, meningkatnya risiko banjir di wilayah sekitar, hilangnya habitat alami di kawasan muara, pencemaran air akibat sedimentasi dan material bangunan, serta ancaman terhadap penghidupan masyarakat lokal yang bergantung pada ekosistem sungai.
“Reklamasi ilegal ini adalah bentuk nyata perampasan ruang hidup masyarakat dan kriminalitas terhadap lingkungan. Kami mendesak aparat penegak hukum untuk segera memproses pelaku secara hukum, menyita lahan yang direklamasi, dan melakukan pemulihan ekosistem secara menyeluruh,” tutup Yulianto Behar dengan suara lantang.
Berdasarkan fakta lapangan yang dihimpun, Walhi NTT mendesak: Pertama, Kapolres Sumba Barat untuk segera menyelidiki dan menetapkan status hukum terhadap pelaku kejahatan reklamasi ilegal yang terjadi di Sumba Barat.
Kedua, Kejaksaan Negeri Waikabubak untuk segera memproses kasus ini hingga ke pengadilan.
WALHI NTT juga menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan administratif. Negara tidak boleh tunduk pada kekuatan modal yang merusak lingkungan. Proses hukum harus ditegakkan agar menjadi preseden bahwa lingkungan hidup bukan milik pribadi, dan setiap pengrusakan atas nama investasi akan diproses sebagai tindak pidana serius.***
Kedatangan masyarakat dua desa tersebut bukan merupakan kedatangan pertama ke Kementerian ATR/ BPN. Warga berharap kunjungan kali ini membuat Kementerian ATR/BPN memprioritaskan penyelesaian konflik agraria di desa mereka.